Sebagai seorang kutu buku, aku tuh nggak pernah benar-benar membayangkan bakal nyemplung ke dunia bisnis. Kutu buku dan bisnis tuh kayak nggak bisa menyatu aja gitu.
Kawan Risalah tahu nggak? Dulu tuh pikiranku sederhana. Baca buku, menulis catatan, minum kopi, udah selesai. Gitu doang.
Tapi, ternyata hidup punya cara lucu untuk mengajak kita keluar dari zona nyaman. Aku yang dulu lebih nyaman di antara rak buku, tiba-tiba harus belajar soal harga, strategi pemasaran, dan gimana caranya mengelola pelanggan.
Lucunya, makin ke sini aku makin sadar. Banyak hal yang kupelajari dari buku justru jadi bekal penting di dunia bisnis yang serba cepat ini.
Kutu Buku dan Bisnis, Dunia yang Penuh Data
Sebenarnya, kalau mau kupikirkan lagi, kutu buku sama pebisnis tuh nggak jauh beda lho. Mereka sama-sama suka menganalisis.
Bedanya, kalau kutu buku membaca halaman-halaman tulisan, sementara pebisnis membaca situasi dan angka.
Hal yang menarik adalal kebiasaan membaca membuatku terbiasa pause dulu sebelum bertindak. Maksudnya, aku nggak asal gas, tapi belajar memahami konteks.
Yang mana di dunia bisnis, itu penting banget. Karena keputusan yang terlalu cepat apalagi tanpa riset bisa berujung pada salah langkah.
Jadi ketika teman-temanku sibuk bereksperimen sana-sini, aku justru sibuk membuka catatan, menulis rencana, baca tren termasuk blog bisnis, dan mempelajari pola.
Bukan karena aku takut gagal, tapi karena aku tahu kalau setiap bisnis yang bertahan lama selalu punya fondasi yang kuat. Dan tahu nggak sih? Membaca bisa membantuku dalam proses membangun fondasi tersebut.
Pelajaran Bisnis dari Buku-Buku yang Pernah Kubaca
Sebagai kutu buku, dunia bisnisku nggak dimulai dari seminar atau kelas daring, tapi dari halaman-halaman buku yang pelan-pelan mengubah cara pandangku.
Dulu, tiap kali baca buku, aku nggak pernah (secara khusus) niat “belajar bisnis”. Aku cuma suka menyelami kisah, memikirkan karakter, dan merenungkan ide-ide yang tertulis di sana.
Tapi tanpa sadar, buku-buku itu menanamkan pola pikir yang akhirnya kepakai banget. Tentang kegigihan, pengambilan keputusan, manajemen waktu, sampai cara melihat kegagalan dengan kepala dingin.
Dan anehnya, semakin aku membaca, semakin aku merasa bahwa setiap buku sebenarnya punya “aroma bisnis”-nya sendiri. Entah itu, tentang gimana manusia berpikir, mengelola risiko, atau menjaga semangat di tengah tekanan.
Jadi waktu akhirnya aku benar-benar terjun ke dunia bisnis, aku nggak mulai dari nol. Aku cuma memindahkan pelajaran dari halaman buku ke kehidupan nyata. Gimana mengeksekusi ide bisnis anak pesantren biar tumbuh dan berkembang?
Sebagai informasi untuk Kawan Risalah-ku, aku sudah list beberapa buku yang diam-diam jadi mentor bisnis versiku, antara lain:
1. Shoe Dog – Phil Knight

Buku ini tuh salah satu yang paling ngena buatku. Shoe Dog bukan sekadar kisah tentang lahirnya Nike, tapi juga perjalanan emosional seorang Phil Knight yang penuh kegigihan, keraguan, dan keputusan nekat yang akhirnya mengubah dunia olahraga.
Bayangin nih ya! Nike dulu dimulai dari garasi kecil di rumah orang tua Knight, cuma dengan modal ide dan keberanian menjual sepatu lari dari Jepang. Ia nggak tahu pasti usahanya akan berhasil atau nggak. Yang dia tahu cuma satu. Dia harus terus jalan.
“The cowards never started and the weak died along the way. That leaves us, ladies and gentlemen. Us.”
Dari kalimat itu aja udah kelihatan banget. Pada dasarnya bisnis adalah tentang siapa yang berani mulai dan siapa yang tahan di jalan panjang itu. Knight juga bilang:
“Let everyone else call your idea crazy… just keep going. Don’t stop.”
Dan yang paling aku suka:
“It’s never just business. It never will be. If it ever does become just business, that will mean that business is very bad.”
Kalimat terakhir itu dalem banget. Karena bisnis yang baik nggak pernah sekadar soal angka dan profit. Ada nilai, ada semangat, dan ada cerita manusia di baliknya.
Dari Phil Knight aku belajar bahwa bisnis itu bukan tentang menunggu semuanya sempurna, tapi tentang berani melangkah meski masih ragu. Semacam jalan dulu aja, belajar sambil jatuh, dan temukan ritmemu sendiri gitu deh.
Kawan Risalahku bisa cek ide usaha rumahan kreatif buat booster. Siapa tahu langsung dapat ide untuk dikembangkan.
2. The Psychology of Money – Morgan Housel

Kalau Shoe Dog mengajari soal keberanian untuk memulai bisnis, maka The Psychology of Money mengajariku cara berpikir tentang uang. Ya, secara nggak langsung, tentang bisnis juga.
Buku ini bikin aku mikir ulang soal hubungan antara uang, keputusan, dan rasa cukup.
Morgan Housel menulis dengan gaya yang sederhana tapi nusuk banget. Dia bilang, keberhasilan finansial itu lebih banyak ditentukan oleh perilaku kita daripada kecerdasan kita.
“Doing well with money has a little to do with how smart you are and a lot to do with how you behave.”
Kalimat ini bikin aku refleksi. Kadang, kita terlalu sibuk nyari strategi bisnis terbaik, sampai lupa memperhatikan cara berpikir kita sendiri. Padahal, mindset yang salah bisa bikin keputusan bisnis melenceng jauh dari tujuan awal.
Menurut Housel, kekayaan sejati (wealth) sering kali nggak terlihat. Ia bukan mobil mewah, rumah besar, atau saldo rekening yang tebal. Tapi, pilihan yang belum kita ambil, kebebasan waktu, dan rasa cukup dengan apa yang kita punya.
“Money’s greatest intrinsic value—and this can’t be overstated—is its ability to give you control over your time.”
Sebagai kutu buku yang nyemplung ke dunia bisnis, aku jadi ngerasa bahwa pelajaran ini relevan banget.
Tujuan bisnis bukan cuma mengejar profit, tapi juga membangun kebebasan untuk memilih jalan hidup sendiri.
Housel juga menulis bahwa memahami uang itu bukan soal pintar matematika, tapi soal memahami manusia. Termasuk diri sendiri. Ia menekankan pentingnya tahu kapan harus berhenti mengejar lebih, dan kapan harus bilang “cukup”.
Dan menurutku, itu juga berlaku di dunia bisnis. Kadang kita terjebak ingin tumbuh terus, ingin besar terus, sampai lupa menikmati prosesnya.
Padahal, yang paling mahal dari semua ini adalah waktu. Iya, waktu untuk belajar, beristirahat, dan tetap jadi diri sendiri di tengah ambisi.
Ketika Kutu Buku Belajar Menjalankan Bisnis di Dunia Nyata

Kadang aku mikir, mungkin itulah bedanya belajar dari buku dengan belajar dari pengalaman langsung. Nih, ide usaha sampingan tanpa modal yang bisa kalian lakukan di rumah.
Buku memberiku cara berpikir yang runut, logis, dan tenang. Semacam kerangka berpikir sebelum melangkah. Tapi sayangnya, bisnis di dunia nyata nggak selalu bisa ditebak seperti alur cerita di buku.
Di lapangan, semua serba cepat, emosional, dan penuh kejutan.
Namun di sisi lain, justru kebiasaan membacalah yang bikin aku bisa tetap waras di tengah kekacauan itu.
Saat yang lain panik menghadapi perubahan tren, aku terbiasa mengambil jeda. Membaca ulang catatan, cari inspirasi, dan menenangkan pikiran lewat halaman-halaman yang familiar.
Aku juga paham tugas content writer dalam digital marketing dari saking rajinnya membaca lho.
Dan dari situ aku sadar, bahwa menjadi kutu buku dan bisnis bukan dua hal yang berlawanan. Kedua butuh kesabaran, keingintahuan, dan kemampuan untuk terus belajar tanpa henti.
Menutup Buku, Membuka Bab Baru tentang Bisnis yang Punya Jiwa
Sekarang aku jadi tahu, bisnis itu nggak melulu soal strategi besar atau angka-angka di laporan keuangan.
Bisnis juga soal rasa. Tentang gimana kita memahami orang lain, mendengarkan pelanggan, dan mengenali nilai-nilai yang kita pegang sendiri. Dalam hal ini, urusan bisnis juga menyangkut tips memilih bisnis kecil yang sesuai dengan hobi dan skill.
Kalau dulu aku membaca untuk memahami dunia, sekarang aku berbisnis untuk mempraktikkan pemahaman itu.
Aku merasa kalau setiap keputusan bisnis rasanya seperti menulis paragraf baru. Kadang lancar, kadang tersendat, tapi aku yakin mereka selalu mengajarkan sesuatu yang baru.
Sebagai kutu buku, aku mungkin bukan pebisnis paling cepat dalam mengambil langkah. Tapi justru itu kelebihannya. Aku belajar membaca tanda-tanda kecil, merasakan irama pasar, dan memahami cerita di balik setiap angka.
Aku percaya, bisnis yang tumbuh perlahan tapi punya arah jelas jauh lebih kuat daripada bisnis yang besar tapi kosong maknanya.
Dan mungkin, itulah bentuk bisnis yang punya jiwa. Bisnis yang lahir dari rasa ingin tahu, dijalankan dengan hati, dan tumbuh dengan makna.
Jadi kalau kalian masih ragu sama kutu buku dan bisnis, jangan khawatir! Kalian nggak sedang meninggalkan dunia buku kok. Kalian cuma sedang menulis bab baru sendiri.
Bila perlu kalian juga bisa temukan artikel tentang bisnis di website ini ya!