sengketa sawah karena nggak ada sertifikatnya

Pulang Kampung dan Sawah Keluarga Hampir Melayang karena Nggak Punya Sertifikat

Aku mau cerita nih, pengalaman yang bikin aku mikir keras akhir-akhir ini. Jujur, rasanya kayak kena jumpscare tapi versi drama keluarga. Soal sawah yang nggak punya sertifikat.

Jadi gini, beberapa waktu lalu aku pulang kampung. Biasalah, niatnya mau nyantai, ngopi di teras sambil dengerin suara jangkrik, dan tentu saja, menikmati suasana sawah yang adem.

Tapi, kalian tahu nggak apa yang kutemukan pas balik kampung?

Pulang ke Kampung, Bertemu lagi dengan Kenangan

Bestie tahu sendiri kan, sawah itu bukan cuma lahan, tapi juga mesin waktu buat kita yang pernah merasakan masa kecil di desa.

Aku ingat banget dulu, sawah keluarga adalah playground favorit. Main lumpur sampai baju belepotan, ikutan bantu tanam padi (walaupun cuma numpang lewat doang), sampai heboh pas panen karena banyak belut.

Sawah tu, buatku, jadi bagian dari rumah, tempat kenangan manis diukir bersama aroma tanah basah dan desiran angin.

Tapi kali ini, pulang kampung justru disambut cerita yang agak bikin nyess di dada.

Aku dengar kabar dari orang tua, atau mungkin lebih tepatnya bisik-bisik tetangga yang lebih kedengaran, kalau sawah keluarga hampir melayang karena urusan dokumen.

Deg! Kaget dong aku. Bukan karena dijual, lho, tapi karena urusan legalitasnya yang ternyata amburadul. Aduh, rasanya kayak kena prank tapi ini seriusan.

Sawah Bisa Hilang, Bukan Cuma Karena Dijual

Bestie, ini pelajaran yang bikin aku auto-merinding. Kita seringkali berpikir, “Ah, sawah ini kan warisan dari kakek-nenek, semua orang di kampung juga tahu ini punya keluarga kita.” Ya kan? Dulu aku mikirnya gitu juga.

Ketika Sertifikat Sawah Masih Dianggap Sepele

Faktanya, banyak banget lahan warisan, termasuk sawah, yang masih punya surat girik, letter C, atau bahkan cuma mengandalkan “saksi lisan” dari tetangga.

Baca juga:  10 Strategi Mengurangi Stres yang Bisa Kita Lakukan

Di mata hukum, dokumen-dokumen itu memang bukti kepemilikan, tapi tingkat kekuatannya beda jauh sama sertifikat hak milik.

Tanpa sertifikat, klaim orang luar yang mungkin niatnya jahat, bisa jadi lebih kuat di mata hukum daripada pengakuan lisan dari seluruh warga desa. Serem, kan?

Ibaratnya kamu punya KTP, tapi nggak ada fotonya. Sah sih, tapi kalau ada yang ngaku-ngaku jadi kamu, bakal repot pembuktiannya. Iya nggak?

Lagian ya, jangankan sawah, rumah saja bisa dibongkar kalau nggak punya ijin PBG.

Kasus Sawah ‘Diserobot’ Itu Nyata

Percayalah, Bestie! Kasus sawah ‘diserobot’ itu nyata dan sering banget terjadi di desa.

Pernah dengar ‘kan cerita, ada orang luar yang tiba-tiba datang dan bilang dia sudah beli tanah dari salah satu ahli waris, padahal ahli waris yang lain nggak tahu menahu?

Atau yang lebih parah, ada yang nekat memalsukan dokumen karena pemilik sahnya nggak punya bukti kuat.

Di sini, sertifikat itu jadi tameng utama kita. Kalau tamengnya nggak ada, ya siap-siap aja diserang dari segala penjuru. Sedih banget kan kalau warisan turun-temurun hilang karena kelalaian diri sendiri?

Obrolan dalam Keluarga, “Emang Perlu Ya Sampai Urus Sertifikat Sawah?”

Pengalaman ini bikin aku langsung ajak Bapak dan Ibu ngobrol serius (tumben-tumbenan). Awalnya, mereka agak santai. Bahkan cenderung masa bodo sih kalau kubilang.

Generasi Lama vs Realitas Sekarang

“Yang penting orang kampung tahu ini punya kita, Nduk. Nggak mungkin diambil orang,” kata Bapak santai sambil menyeruput kopi.

Nah, ini nih pandangan generasi lama yang sering banget kita dengar. Bagi mereka, pengakuan sosial lebih utama daripada secarik kertas bernama sertifikat.

Tapi buat kita, generasi muda yang lebih sering berhadapan dengan birokrasi dan legalitas, tantangannya beda. Kita menghadapi proses yang kadang ribet, biaya yang nggak sedikit, dan ke-nggak-tahuan prosedur.

Baca juga:  Checklist Kebutuhan Rumah Tangga untuk Pasangan Baru

Rasanya kayak mau ngurus paspor tapi nggak tahu kantor imigrasinya di mana, dan dokumen apa aja yang harus dibawa. Pusing pala Barbie, Bestie!

Penyesalan yang Datang Terlambat

Kadang, penyesalan memang datang terlambat, Bestie. Banyak lho kasus, keluarga baru sadar pentingnya legalitas saat konflik sudah terjadi, saat sawah sudah terancam diambil orang, atau bahkan sudah berpindah tangan.

Dan jujur, ada sedikit rasa bersalah di hatiku karena nggak lebih cepat bantu orang tua mengurusnya. Ini pelajaran berharga buatku dan mungkin juga buatmu.

Waktunya Bergerak! Jaga Warisan, Mulai dari Dokumen

mengurus sertifikat sawah

Jadi, setelah drama itu, aku memutuskan untuk nggak cuma diam. Waktunya bergerak! Sawah itu akar keluarga, jangan biarkan tercabut! Apalagi dengan alasan legalitas yang sebenarnya bisa kita urus.

Langkah Awal Mengurus Sertifikat Sawah

Kalau kamu punya kondisi yang mirip, ini nih langkah awal yang bisa kamu coba, antara lain:

  1. Cek status tanah ke kantor BPN (Badan Pertanahan Nasional) Cari tahu status terakhirnya apa, ada sengketa atau nggak.
  2. Tanyakan juga program PTSL (Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap). Ini program pemerintah yang lumayan membantu, seringkali biayanya lebih ringan atau bahkan gratis di beberapa daerah.
  3. Siapkan dan lengkapi dokumen yang ada, kayak girik, letter C, KTP pemilik, surat waris (kalau memang tanah warisan dan pemilik sebelumnya sudah wafat), serta surat pernyataan dari ahli waris lain jika diperlukan.

Pokoknya, siap-siap berkas numpuk ya, Bestie!

Hambatan Mengurus Sertifikat Sawah dan Cara Mengatasinya

Aku tahu, kalian bakal bertanya soal hambatan yang mungkin terjadi saat mengurus sertifikat sawah. Benar ‘kan? Pastinya ada hambatannya, misalnya:

  1. Jangan kaget kalau ada biaya pengukuran atau administrasi yang harus kita keluarkan.
  2. Belum lagi, kesulitan mendapatkan dokumen waris jika orang tua atau kakek-nenek sudah wafat. Emak-bapakku masih harus ngasih uang pelicin ke sanak saudaranya lho.
  3. Kadang kita masih harus cari saksi hidup yang tahu sejarah tanah itu.
  4. Terakhir, cara mendekati tetangga untuk validasi batas tanah juga butuh seni.
Baca juga:  Hati-Hati, Ini Efek Samping Minum Kopi Setiap Hari!

Jangan sampai salah ngomong dan malah bikin konflik baru. Humor bisa jadi penolong di sini, ajak ngopi-ngopi dulu lah!

Sawah Itu Akar, Jangan Biarkan Tercerabut

Sobat Risalah Baru, sawah itu lebih dari sekadar sumber penghasilan. Ia adalah bagian dari identitas keluarga, saksi bisu sejarah, dan jembatan ke masa lalu.

Kita mungkin merantau, bekerja di kota, bahkan mungkin nggak lagi jadi petani. Tapi, kita masih punya tanggung jawab moral untuk menjaga akar itu tetap kuat.

Jangan biarkan sawah kita hilang bukan karena bencana alam, bukan karena gagal panen, tapi justru karena kelalaian diri kita sendiri dalam mengurus legalitasnya.

Yuk, Bestie, mulai dari hal kecil, kayak ngobrol dengan orang tua, tanya dokumen apa yang sudah ada, lalu bantu urus sisanya.

Karena menjaga sawah berarti menjaga warisan, menjaga identitas, dan memastikan kisah keluarga tetap tertulis di atas tanah yang sama.

Related Posts

8 thoughts on “Pulang Kampung dan Sawah Keluarga Hampir Melayang karena Nggak Punya Sertifikat

  1. Iya nih seliweran di media sosial soal kelalaian mengurus surat waris, sampai tanah/rumah jadinya disita negara. Kayak gimana gitu, orang tua kita yg susah payah, pas ke ahli waris, kok disita/melayang.
    Yawsudah, ikuti aturan saja. Segera urus balik nama, kalau pewaris wafat.

  2. Saya dulu mengira hanya ada sertifikat rumah atau tanah. tenryata sawah juga dada. Tapi dulu masih girik. Seiring waktu sertifikat sawah juga penting ya, yang menegaskan kepemilikan, teus lebih aman ada sertifikat sawah, tidak akan akan diserobot orang. Terus sawah ada sertifikatnya akan lebih mudah dan cepat dijual.

  3. Dokumen tanah penting banget lohh… Sekarang orang jahat makin banyak. Adaaaa aja akal2annya utk menyerobot hak orin. Kapan hari sempat rame juga kan yg di Klaten atau mana itu ya, bapak2 buta huruf, mempercayakan dokumen tanahnya kepada tetangganya utk pecah waris. Eeehh sama si tetangga malah dijual. Nyesek bangett deh

  4. Bener banget ini, tindakan penyerobotan gak atas tanah itu jamak terjadi, dan ortuku salah satu korbannya, waktu itu memang baru letter c, melayang deh itu tanah, sudah urus ke polisi juga tapi belum dilanjutkan lagi, bapakku sampai puyeng mikir how to ambilalih lagi, tapi akhirnya memilih untuk ikhlas melepas karena lemahnya bukti kepemilikan

  5. Lumayan sering baca kasus tanah dan sawah yang tiba-tiba ganti pemilik alias di serobot orang lain. Aku kalau baca kasus begitu sering teringat kisah-kisah nyata di majalah Hidayah tempo dulu. Penyerobot tanah yang ketika meninggal jasadnya nggak diterima oleh Bumi.

  6. Zaman sekarang gini yaa.. bisa-bisanya tanah waris jadi gak berharga karena dokumen gak ada. Huhuhu.. alhamdulillah masih ke tracking dan bisa diurus.
    Alhamdulillah pas pulang juga yaa, ka..
    Jadi bisa bantu urus legalitas tanah waris.

    Ini penting menurutku.. bukan hanya untuk mengenang masa lalu, tapi juga untuk menuturkan pada anak-anak dari mana kita berasal, keturunan siapa dan salah satu buktinya ya.. tanah atau bangunan warisan ini.

  7. Sekarang memang segala sesuatunya better punya sertifikat yang menunjukkan bukti sah kepemilikan kita, tak terkecuali dengan sawah biar aman dan jelas di mata hukum

  8. Jadi ingat kasus yang srkg lagi viral tentang bapak di Yogya yang tiba² rumahnya di klaim orang dan dijadikan agunan. Haduuh seram yaa…

    Memang aset itu harus dimiliki dengan kekuatan hukum negara, tak bisa hanya asal ortu bilang ini saya kasih tanah ini buat kamu..itu sangat beresiko. Harus diurus sertifikatnya segera. Kalau di desa sih ada program urus sertifikat dari desa jadi dibantu pembuatannya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *