Aku pernah bangun tidur di pagi hari dengan kepala berat, mata belum sepenuhnya terbuka, tapi jariku sudah otomatis nyari handphone.
Notifikasi WhatsApp, mention di Instagram, email kerjaan, semua langsung menyambutku bak alarm yang tidak pernah benar-benar mati. Hari belum dimulai, tapi energiku sudah terasa habis.
Waktu itu aku cuma mikir: “Kenapa aku gampang banget capek, ya?”
Dan jawaban yang paling tidak kuduga datang dari hal yang selalu ada dalam genggamanku. Apa lagi kalau bukan layar handphone.
Ya sudah deh. Dari situ aku menyadari bahwa aku butuh jeda biar tidak capek jadi budak notifikasi. Salah satunya dengan digital detox.
Apa Itu Digital Detox?
Digital detox adalah jeda atau semacam waktu istirahat dari semua perangkat digital, khususnya yang menghubungkan kita ke dunia maya, seperti media sosial, notifikasi aplikasi, bahkan email.
Hal ini kita lakukan bukan karena gadget-nya jahat, tapi karena otak dan tubuh kita butuh ruang buat bernapas.
Bayangin deh! Setiap hari kita dikepung sama notifikasi yang bikin otak aktif terus. Belum lagi konten yang lewat di timeline. Ada yang lucu, ada yang bikin iri dan ada juga yang bikin kita berpikir hidup ini belum cukup ‘sukses’.
Padahal, kadang kita cuma pengen buka handphone buat cari hiburan sebentar. Eh, kitanya malah jadi overthinking.
Kenapa Kita Butuh Digital Detox?
Gadget itu penting. Aku setuju. Tapi, terlalu sering terpapar layar bisa bikin kita rentan terhadap stres, kecemasan, dan bahkan gangguan tidur.
Aku sendiri pernah merasa otakku terus aktif bahkan saat tubuh ingin istirahat. Semua karena notifikasi yang terus datang atau dorongan untuk terus scroll media sosial tanpa arah.
Baru setelah sadar hidupku sudah dikendalikan oleh notifikasi, aku mulai cari tahu! Ternyata, terlalu sering terpaku di layar bisa bikin kita mengalami beberapa hal, antara lain:
1. Kelelahan Mental

Entah mau kita sadari atau tidak, terlalu sering menatap layar handphone, kita akan mendapatkan informasi yang berlebih. Padahal ya belum tentu kita membutuhkan informasi tersebut.
Hal ini bikin otak kita terus-menerus aktif. Bahkan mungkin bisa dibilang kalau kita maksa otak untuk terus-terusan menyerap semua informasi. Semacam multitasking digital gitu deh.
Belum lagi, kalau kita sampai kecanduan digital. Rasanya kayak kita tidak tenang saat mata tidak menatap layar gawai. Jelas sekali, mental kita bakalan lelah, bestie.
2. Susah fokus
Setiap kali kita membuka layar gawai, kita terbiasa berpindah-pindah antar aplikasi. Instagram ke WhatsApp, lalu ke TikTok, kemudian ke YouTube.
Semuanya cepat dan tanpa jeda. Ini bikin otak kita terbiasa multitasking dan kehilangan kemampuan untuk bertahan fokus pada satu hal dalam waktu lama.
Menurut penelitian dari Microsoft (2015), rentang perhatian manusia menurun dari 12 detik pada tahun 2000 menjadi hanya 8 detik. Kalian tahu apa artinya?
Kemampuan fokus kita lebih pendek dari ikan mas, cuy! Salah satu penyebabnya karena paparan digital yang konstan.
Belum lagi, layar ponsel menampilkan informasi visual yang sangat padat, mulai dari warna mencolok, notifikasi pop-up hingga video cepat.
Ini bikin otak kita terus aktif dan siaga. Sehingga cepat lelah dan sulit mempertahankan konsentrasi untuk hal-hal yang lebih “tenang”, kayak membaca buku atau mengerjakan tugas.
Masih ada lagi nih yang bikin kita hilang fokus. Kalau ada bunyi notifikasi. Walau cuma beberapa detik, otak butuh waktu lagi untuk kembali ke mode fokus.
Dalam artian yang tersisa hanya sisa perhatian yang tertinggal di hal sebelumnya. Namanya attention residue.
3. FOMO (Fear of Missing Out) makin parah
Beberapa waktu lalu, aku lagi scroll Instagram malam-malam. Tidak ada niat apa-apa sih, cuma lagi iseng nunggu ngantuk.
Tapi, timeline penuh sama orang-orang yang lagi liburan, pesta, reunian, launching bisnis, bahkan ada yang baru beli rumah.
Pas banget, waktu itu aku lagi merasa hidupku gitu-gitu aja. Kayak bangun, kerja, rebahan, tidur.
Dan pas lihat semua itu? Rasanya, “Kok hidup mereka seru banget ya? Kok aku nggak ngapa-ngapain?”
Padahal, sebelumnya aku baik-baik saja. Hanya karena satu sesi scroll yang tidak penting itu, mood-ku langsung jatuh.
Aku mulai mempertanyakan hidupku sendiri. Padahal ya, itu cuma potongan-potongan highlight hidup orang lain.
Tapi otakku tetap membandingkan itu sama semua bagian hidupku, termasuk bagian yang lagi tidak seindah itu.
Itulah yang disebut FOMO.
Dan ternyata, semakin sering kita terpapar konten hidup orang lain lewat layar, maka semakin besar rasa cemas dan takut tertinggal itu muncul.
Kita tidak menyadari bahwa algoritma di media sosial memang dirancang untuk menampilkan hal-hal yang paling “wah”, paling “viral”, paling bikin iri.
Jadi makin sering kita menatap layar, makin besar kemungkinan kita merasa seperti sedang tertinggal dari dunia. Padahal mah belum tentu.
Kita jadi haus validasi, dan lupa bahwa yang penting tuh bukan apa yang orang lain lakukan. Tapi bagaimana kita hidup dengan versi terbaik diri sendiri.
4. Hubungan sosial jadi dangkal
Aku pernah duduk di kafe bareng teman-teman lama. Momen yang harusnya jadi ajang nostalgia dan ngobrol seru, malah jadi sesi sunyi yang aneh. Krik.. krik.. krik..
Setiap orang sibuk dengan ponselnya masing-masing. Ada yang scroll TikTok, ada yang bales chat kerjaan, ada juga yang cuma buka-buka layar tanpa tujuan. Termasuk aku.
Sesekali ngobrol, iya. Tapi setengah hati.
Pandangan lebih sering ke bawah—ke layar, bukan ke wajah lawan bicara. Obrolan pun cuma permukaan: “Lagi sibuk apa?”, “Eh, lo liat story si A gak?”, “Lucu deh meme ini.”
Waktu pulang, rasanya aneh. Kayak, “Kita tadi ngapain aja, ya?”
Padahal secara teknis ketemu, tapi secara emosional? Kosong.
Dari situ aku sadar bahwa kebiasaan terus-menerus menatap layar bikin kita hadir secara fisik, tapi hilang secara emosi.
Kita ada di ruangan yang sama, tapi pikiran dan perhatian kita entah kemana. Ke notifikasi, postingan, ke dunia maya yang seolah-olah lebih penting dari orang yang duduk di depan kita.
Layar-layar itu, pelan-pelan, menciptakan jarak yang tidak kelihatan tapi terasa. Kita jadi kehilangan keintiman, kehilangan kedalaman dalam hubungan.
Bukan karena tidak peduli, tapi karena kita terbiasa sibuk dengan dunia digital lalu lupa untuk benar-benar hadir.
Tahu apa yang lebih menyedihkan?
Kadang kita ngerasa lebih nyambung sama orang asing di internet daripada teman yang sudah kenal sejak SMP.
Bukan karena mereka lebih baik. Tapi karena kita lebih banyak waktu dan perhatian untuk mereka lewat layar.
5. Sulit Tidur

Dulu aku punya kebiasaan yang katanya “sepele”, tapi ternyata berdampak besar. Main handphone sebelum tidur.
Rasanya kayak ritual wajib. Rebahan, lampu kamar dimatikan, lalu mulai buka Instagram, scroll-scroll TikTok, kadang lanjut nonton YouTube.
“Cuma sebentar,” kataku dalam hati. Tapi tau-tau, sudah jam 1 pagi. Padahal, niat awalnya cuma mau tidur jam 10.
Kalian tahu apa yang paling menyebalkan?
Sudahlah ngantuk dari tadi, tapi begitu handphone ditaruh, eh mata malah seger. Melek dan tidak ada ngantuk-ngantuknya.
Otak rasanya aktif banget. Banyak pikiran masuk tiba-tiba, mulai dari hal receh sampai overthinking eksistensial.
Akhirnya aku malah begadang, susah tidur, dan bangun dalam keadaan lelah.
Lama-lama aku jadi penasaran. “kok bisa ya? Bukannya handphone itu bantu relaksasi?”
Ternyata tidak, Bestie.
Setelah aku baca-baca, layar ponsel memancarkan cahaya biru yang mengganggu produksi melatonin. Itu lho hormon yang bantu tubuh kita bersiap untuk tidur.
Jadi, meskipun badan sudah capek, otak tetap “mengira” bahwa hari masih siang karena terpapar cahaya dari layar.
Belum lagi, konten yang kita lihat sebelum tidur biasanya merangsang otak. Video lucu, berita mengejutkan atau drama di media sosial.
Alih-alih tenang, otak justru diajak kerja keras tepat sebelum waktu istirahatnya.
Dan makin sering aku melakukan itu, makin kacau pola tidurku. Sulit tidur, sering kebangun di malam hari, bangun pagi kayak belum tidur sama sekali.
Aku merasa kayak zombie yang menjalani hari sambil mengantuk. Tapi tetap tidak bisa lepas dari layar tiap malam.
Tanda-Tanda Kamu Butuh Digital Detox
Setelah baca semua ceritaku di atas, dan kalian merasakan hal yang sama. Mungkin kalian sudah waktunya melakukan digital detox.
Bila memang masih ragu, cobalah untuk lebih peka dan cek beberapa tanda-tanda berikut ini:
- Bangun tidur langsung cek HP, dan merasa “kosong” kalau tidak melakukannya.
- Waktu luang selalu diisi dengan scroll medsos.
- Cemas kalau handphone ketinggalan, bahkan untuk beberapa menit saja.
- Merasa burnout tanpa tahu penyebab pastinya.
- Rasanya “wajib” bales chat atau notifikasi secepat mungkin, walau lagi capek.
Kalau iya, mungkin tubuhmu sedang minta istirahat dari layar. Jangan abaikan ya, Bestie! Saat kamu sudah melakukan detox digital, aku yakin kamu pasti merasa lebih baik.
Manfaat Digital Detox
Setelah aku mencoba untuk mengatur waktu penggunaan gadget, efeknya sungguh luar biasa. Tidurku jadi lebih nyenyak. Pikiranku terasa lebih jernih. Aku juga jadi lebih hadir saat ngobrol sama orang lain, tanpa tergoda melihat notifikasi diam-diam.
Intinya, ada beberapa manfaat yang bisa kamu rasakan saat sudah melakukan digital detox, antara lain:
- Lebih fokus dan produktif
- Kualitas tidur meningkat
- Pikiran lebih tenang
- Interaksi sosial lebih bermakna
- Lebih sadar dan menghargai momen
Haruskah Digital Detox Itu Ekstrem?
Tidak sama sekali. Digital detox bukan berarti kamu harus buang handphone atau off total dari dunia maya. Bisa kok mulai dari hal kecil kayak:
- Matikan notifikasi aplikasi yang tidak penting.
- Jadwalkan waktu bebas handphone setiap hari, kayak 1 jam tanpa handphone setiap hari atau tidak buka handphone 30 menit sebelum tidur.
- Gunakan mode airplane saat istirahat atau bekerja
- Buat zona bebas gadget, misalnya di kamar atau meja makan
Yang penting adalah konsistensi dan kesadaran untuk menjaga keseimbangan.
Aku sendiri mulai dari kebiasaan kecil: pas mandi, tidak bawa handphone ke kamar mandi (ya, separah itu dulu). Lama-lama jadi terbiasa. Dan ternyata, hidup tidak se-menyebalkan itu kalau tidak terus nyambung ke internet.
Yuk, Kasih Diri Kita Napas!
Digital detox bukan soal anti-teknologi ya. Ini soal kasih ruang buat diri sendiri. Biar otak bisa tenang, tubuh bisa istirahat dan hati bisa merasa utuh tanpa perlu validasi digital.
Kadang, satu-satunya cara untuk benar-benar terhubung dengan diri sendiri adalah dengan memutus sambungan sejenak.
Jadi, kalau kamu juga mulai capek jadi budak notifikasi, mungkin ini saatnya bilang: “Maaf, notifikasi. Aku butuh waktu buat diriku sendiri.”
Kalau ketinggalan ponsel bukan karena butuh detox buatku tapi semua-semuanya ada di ponsel
Uang digital dan segala informasi ada di sana
Makanya sangat sangat bikin aku nangis kalau misal ponsel ketinggalan
Belum lagi kalau pas di luar dan gak bawa uang cash, aku kelabakan kalau ga ada ponsel
Tulisannya sangat menarik dan penting banget ini. Detox itu penting banget seh menurutku karena dunia digital itu menuntut untuk selalu cepat, sejatinya cepat juga belum tentu baik.
Memang butuh diberi informasi ke logika bahwa segala sesuatu perlu keseimbangan. secukupnya saja. Jadi ada waktunya untuk jeda, baca buku atau menikmati hal-hal lain yang tidak berhubungan dengan dunia digital.
BRAIN ROT! Ini yg sering dialami banyak netyjen, termasuk aku. Juga hal-hal yg dipaparkan di artikel ini, duh mengena bangeeettt
solusinya tidak lain tidak bukan , yaaa harus mau digital detox.
Supaya fisik-psikis jadi sehat lagi ya kaaann.
Thanks much insight-nyaaaa
Aku pengen digital detox juga soalnya akhir2 ini gampang ketrigger oleh berita2 sedih di sosmed dan jadi overthinking sendiri. Tak baik untuk kesehatan mental. Makasih tipsnya yaa, nanti kupraktekkan di rumah.
Makasih pengingatnya ya.. Memang disadari atau tidak, zaman digital bikin kita melek teknologi, dipermudah tapi sekaligus diperbudak. Aku tuh suka merhatiin klo di KRL, semua orang sibuk dengan gadget masing2, entah kereta sedang penuh atau lowong. Aku pribadi udh sadar agak lama kalo perlu jeda digital. Makanya kalo di kereta lebih memilih melihat pemandangan di jendela, atau tidur jika dapat duduk. Di rumah juga menjauhkan hp dari tempat tidur jika waktunya istirahat.
Huaah, beneeerr, kita memang perlu digital detox yaa.
Kadang, satu-satunya cara untuk benar-benar terhubung dengan diri sendiri adalah dengan memutus sambungan sejenak. -> kalimat ini setuju bangeet.
Aku kalau kepala lagi “berisik” juga butuh waktu sendirian dan lepas dari hp sementara, biasanya nulis pakai tangan di kertas. Nulis semuaa apa yang ada di kepala. Setelah itu, pikiran jadi plong. Bener2 harus memutus sejenak untuk kembali menjadi diri sendiri.
Aku beberapa kali kok ngelakuin detoks medsos. Biasanya Ig dan FB mba. Paling lama pernah sampe 3 bulan. JD aku uninstall , supaya ga tergoda buka..kalo msh ada mah, pasti dibuka.
3 bulan ga nyentuh medsos, dan yg ada aku segeeeer banget.
Begitu udh siap utk buka kembali, pikiran udh fresh, ga merasa overthinking.
Memang butuh kok kita utk sesekali detoks dari hal2 digital. Mungkin kalo detoks hp aku ga bisa, Krn kerjaan pasti dari hp. Yg mengganggu banget itu ya medsos td sih. Bukan wa atau lainnya. Kalo itu malah biasa aja buatku. Makanya yg aku uninstall sementara ya medsos jadinya.
Kdg kangen banget Ama suasana di mana hidup kita ga terganggu Ama medsos. Tahun2 sebelum 2000 hahahahah
Hmmm kayaknya aku iya perlu juga sih digital detox ini karena kadang bangun tidur belum apa-apa udah ngerasa capek. Kadang sebel juga kenapa yang dicari duluan adalah hape, tapi emang kadang adaaa aja yang harus di cek di pagi buta, terutama urusan sekolah anak-anak. Serba salaaahh…
Untuk medsos akhirnya aku kurangi aja yang intens aku buka, mengurangi fomo dan overthinking. Nyoba tips lagi deh dari postingan ini.
Detoks medsos ini penting banget ya spya gak keterusan dan gak bikin kesehatan mental terganggu setuju banget sih
Saya sudah dua bulan detox sosial media, tapi tidak sepenuhnya, karena saya masih nonton youtube. Tapi IG, TikTok, dan Facebook udah enggak sih. Rasanya, setidaknya saya sudah mengurangi jauh informasi ke dalam otak saya, terutama dari Tiktok. Kayaknya bakalan lanjut sih saya…. hehehe
Saya jujur akui, bangun tidur, langsung lihat hape. Eh.. sebelum tidur malam, juga lihat hape dulu hahaha. Dan memang benar, awalnya cuma mau lihat sebentar, agar ngantuk. ternyata.. sampai jam setengah 2 hahaha. Makanya saya kembali ke settingan jadul. sebelum tidur kalau belum ngantuk benar, saya baca buku atau dengar musik saja. Walau harus saya akui juga, kalau kehadiran hape banyak memudahkan saya dalam berbagai hal. Jadi kuncinya bijak menggunakan hape dengan batasan waktu.
Aku pernah nulis tentang ini, dan kayaknya tahun 2025 ini mesti diperbaharui lagi deh. Memang paparan digital itu makin meresahkan, dan berpotensi bikin anak-anak di masa mendatang makin kesulitan buat berkonsentrasi. Itulah kenapa kita sebagai orang tua (sekaligus pengguna) itu harus aware dan bisa lebih baik dalam mengelola penggunaan gawai digital.
Penting sih ilmu ini tuh, sebab dampak jangka panjangnya luar biasa.
Karena umumnya alias kata horang² lebih aman ketinggalan dompet ketimbang ketinggalan HP. Hemm memang pertanda ya butuh detox itu, biar gak terlalu kecanduan dan mersa cemas tanpa scrolling HP
pastinya aku pernah detoksifikasi digital. Dulu pernah merasa kayaknya terlalu candu dikit dikit buka ini itu, dan kerjaan lain kayak diabaikan, akhirnya pelan pelan mencoba kalo bangun tidur gak langsung nyari hape.
kalo seharian itu merasa udah terlalu sering buka hape, aku coba cari kesibukan yang lain
Sebelum melakukan beberapa kali digital detox karena menurut saya sangat penting untuk kewarasan dan juga kesehatan mental saya walaupun tidak bisa dilakukan secara lama karena pekerjaan saya masih di bidang ini akan tetapi amat diperlukan supaya bisa mendapatkan energi lebih dan juga bisa lebih fokus karena dunia digital begitu ramai sehingga perlu memilah apa yang bisa dan harus kita konsumsi
Kalau kerja sebagai blogger atau konten kreator emang sering banget akses layar dan digital. Tapi memang adakalanya harus rehat sejenak untuk detok digital ya
Demi kesehatan fisik dan mental
Betul sekali mba, kita sangat butuh Digital Detox dalam keseharian. Aku termasuk yang pernah merasakan lelahnya scrolling. Sebenernya karena tuntutan pekerjaan. Sebagai social media Specialist dituntut buat up to date dan join trend gitu 😂.
Akhirnya mulai ku batasi juga. Supaya aku tetap bisa produktif dan bikin konten bermanfaat, bukan hanya sekadar join trend.
Apalagi infonya kalau terlalu banyak scrolling bisa bikin brain rot dan efeknya jauh lebih mengerikan sekali.
Makasih sudah kembali diingatkan terkait pentingnya Digital Detox.
mba terima kasih banyak untk artikelnya, saya belakangan ini sedang mengalami dimana kayaknya lelah banget gara-gara hp ini dan solusi digital detox ini jadi pengetahuan barubuat saya, meskipun mungkin sudha tahu apa aja yang bisa dilakukan, namun belum begitu dipahami lebih banyak ke denialnya, betapa pentingnya digital detox ini untuk kesehatan mental kita, mulai hari ini mulai menata kembali dna lakukan digital detox pelan-pelan dan bertahap
Otakku juga lagi gak ga bener nih..
Lelah juga bolak-balik ke sosmed satu dengan yang lainnya.
Jadi, aku secara ga langsung Digital Detox mandiri. Dengan kesadaran penuh juga siih..
makanya IG, X apalagi FB-ku, uda kayak kuburan. Gak pernah kuisi konten dan aku gak pernah bikin story dimana pun juga.
Berasa cape aja gituu..
Tiap makan, storyy.. tiap pergi, storyy…
Bisa gak aku menikmati keindahan ini hanya buat aku?
hahaha.. engga sii.. lebih takut ke dikata “pamer”.
Atau dikatain orang “halah, cuma gitu aja..” huhuhu.. gak mau iih..